Archive for October, 2008

Negara merupakan sesuatu yang tidak bernyawa, akan tetapi suatu negara akan tampak bernyawa ketika individu-individu yang bertempat di dalamnya dapat memberikan warna kehidupan. Hitam putihnya sebuah negara tergantung pada warna apa yang ditorehkan masyarakat di dalamnya. Itulah mengapa, ada suatu negara yang dikatakan maju, berkembang, bahkan tertinggal sekalipun. Ada banyak faktor mengapa negara disebut demikian. Adapun ukuran maju mundurnya suatu negara salah satunya dapat dilihat dari keberhasilan negara dalam mengembangkan bidang pendidikannya. Hal ini dikarenakan suatu bangsa akan hidup apabila memiliki generasi penerus dengan kemampuan sumber daya manusia yang berkualitas dalam menyukseskan pembangunan berkelanjutan yang akan menyejahterahkan masyarakat itu sendiri. Sumber daya manusia yang berkualitas adalah mereka yang mampu menguasai suatu bidang keahlian dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, mampu melaksanakan pekerjaan secara profesional, serta mampu menghasilkan karya-karya unggul yang dapat bersaing di dunia. Sedangkan salah satu keberhasilan mencetak generasi penerus yang berkompeten tersebut melalui peranan bidang pendidikan.

Berkualitasnya nilai pendidikan suatu negara tidak hanya ditentukan oleh satu faktor saja, melainkan dari berbagai macam faktor di antaranya kualitas para pendidik, sarana dan prasarana yang dimiliki, sistem pendidikan yang baik, dukungan pemerintah yang luas dan banyak faktor lainnya.
Saat ini Indonesia merupakan salah satu negeri yang telah didera oleh berbagai keterpurukan, yang diantara penyebab keterpurukan tersebut terjadi karena kekeliruan dalam menyelenggarakan sistem pendidikan nasionalnya. Dalam UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 3 disebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Berdasarkan definisi ini maka terdapat beberapa kecakapan hidup yang diharapkan dapat dimiliki oleh peserta didik setelah menempuh suatu proses pendidikan.

Berawal dari perubahan sistem atau kurikulum pendidikan yang selalu berganti-ganti dalam waktu yang relatif singkat mulai dari CBSA, KBK, hingga KTSP. Hal ini mengindikasikan seakan-akan menunjukkan bahwa adanya ketidakkonsistenan pemerintah dalam mengurusi masalah pendidikan di Indonesia. Hal ini menimbulkan pandangan negatif masyarakat terhadap pemerintah yang tidak serius dalam menangani sistem yang mereka buat sendiri tanpa ada kajian yang jelas dan matang terlebih dahulu untuk mencari format sistem pendidikan yang sesuai dengan negara kita. Tidak hanya kurikulum pendidikan, bahkan sistem pendidikan melalui Ujian Nasional (UNAS) pun ikut mengalami perubahan. Ujian nasional sejatinya bukanlah suatu hal yang baru bagi dunia pendidikan kita. Hal inilah yang kemudian menyulut berbagai permasalahan yang membuat masyarakat semakin tidak percaya dan yakin terhadap kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkan. Mengutip pernyataan Kepala Sekolah Yayasan Kepanjen 1 menegaskan, penyebab banyaknya siswa gagal UNAS karena pemerintah sendiri, ketika kebijakan UNAS diubah dalam tiga tahun terakhir.

Ada banyak sekali pendapat-pendapat yang muncul di masyarakat yang menginginkan UNAS untuk tidak diadakan dan ada pula yang menginginkan untuk tetap diadakan. Dalam rangka pelaksanaan ujian nasional tahun pelajaran 2007/2008, Departemen Pendidikan Nasional mengadakan beberapa perubahan terhadap ujian nasional sebelumnya. Ujian Nasional dilaksanakan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok matapelajaran ilmu dan pengetahuan teknologi.

Kesalahan sistem pendidikan Indonesia ialah terlalu memaksa anak untuk dapat menguasai sekian banyak bidang studi dengan materi yang sedemikian abstrak, selanjutnya membuat anak merasa tertekan yang dampaknya membuat mereka suka bolos, bosan sekolah, tawuran, mencontek, dan lain-lain. Kemudian pada akhirnya mereka tidak dapat mengerjakan ujian dengan baik, sehingga nilai mereka kurang padahal sudah dilakukan remidi. Untuk mengatasi hal ini, supaya dianggap bisa mengajar atau karena tidak boleh ada nilai kurang atau karena kasihan beban pelajaran siswa terlalu banyak, kemudian guru melakukan manipulasi nilai raport. Nilai raport inilah yang kemudian dijadikan dasar untuk memperoleh beasiswa atau melanjutkan kuliah atau ikut PMDK dan lain sebagainya. Bukan, karena UNAS tidak adil, bahwa kemampuan siswa tidak dapat distandardisasi. Kompetensi manusia tidak bisa distandardisasi dan di rangking, semua memiliki kelebihan dan kekurangan, kalaupun mau dipaksakan ada standardisasi, sistem pendidikan Indonesia diperbaiki terlebih dahulu. Oleh karena itu, meskipun menaikkan kuantitas mata pelajaran yang diujikan pada UNAS hal itu tetap tidak dapat meningkatkan kualitas pendidikan di negeri kita.

Dalam paradigma materialistikpun indikator keberhasilan belajar siswa setelah menempuh proses pendidikan dari suatu jenjang pendidikan saat ini adalah dengan perlakuan yang sama secara nasional pemerintah mengukurnya berdasarkan perolehan angka Ujian Nasional (UNAS) yang dahulu disebut sebagai Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS), indikator itupun hanya pada beberapa mata pelajaran saja yang kesemuanya tersebut berbasis pada aspek kognitif (pengetahuan). Pemerintah (Mendiknas) menilai bahwa UNAS sangat tepat untuk dijadikan sebagai alat ukur standar pendidikan, dan hasil UNAS sangat riil untuk dijadikan alat meningkatkan mutu pendidikan
Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah selama ini berusaha meningkatkan kualitas pendidikan dengan cara memaksakan, karena kebijakan-kebijakan ini tidak diimbangi dengan pengelolaan faktor-faktor intrinsik lainnya seperti peningkatan kualitas pendidik, sarana dan prasarana, dan sebagainya. Padahal dengan pengembangan dan peningkatan kualitas faktor-faktor intrinsik tersebut kita dapat mengembangkan pendidikan di negara kita lebih maju daripada harus instant memaksakan siswa lulus dengan standar kelulusan tertentu.

Tidak hanya perubahan kurikulum dan sistem UNAS, bahkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) berupa sekolah gratis di sekolah-sekolah lain disinyalir banyak menimbulkan permasalahan baru misal kecurangan-kecurangan dan harapan yang tidak sesuai. Harapan yang tidak sesuai itu timbul melalui pertanyaan apakah mutu pendidikan menjadi lebih meningkat hanya dengan membebaskan biaya pendidikan formal. Karena segala sesuatu hal yang gratis akan membuat kita terbuai dan selalu bergantung pada bantuan. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa setidaknya upaya tersebut ditempuh hanya untuk mencegah bertambahnya para anak muda yang drop out, putus sekolah dan tidak dapat melanjutkan sekolah karena terhimpit biaya.

by ARIF FIRMANSYAH for our nation.-