BP Migas Dibubarkan karena Bertentangan dengan UUD1945! Koq bisa?

Posted: November 13, 2012 in Cerita
Tags: , , , ,

Hari ini mungkin menjadi hari yang tidak akan pernah dilupakan oleh teman-teman yg bekerja di BP Migas, karena pada hari ini pula Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan untuk membubarkan badan usaha ini. Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pasal yang mengatur tugas dan fungsi Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) yang diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki hukum mengikat.

Perusahaan yang secara kebetulan memiliki kantor pusat yang sama dengan perusahaan dimana aku bekerja ini, mungkin ‘sedikit mirip’ dengan kasus yang menimpa perusahaan dimana aku bekerja, kalau kemarin kita sempat dinyatakan pailit oleh PN Jakarta sedangkan yang ini sudah pasti dinyatakan ‘bubar’ oleh MK. Hal ini membuat aku menjadi tertarik untuk menelusuri apa yang sedang terjadi sebenarnya dengan UU Nomor 22 Tahun 2001 yang melatarbelakangi terbentuknya BP Migas. Akhirnya aku coba untuk mencari informasinya yang berkaitan dengan UU tersebut dan BP Migas di internet. Satu hal yang membuatku juga terkejut adalah pada hari ini seketika itu aku juga tidak bisa mengakses situs BP Migas itu sendiri (*dalam hati… buset sampai situs BP Migas pun sudah hilang dalam hari ini), ini berarti BP Migas memang benar-benar sudah tidak ada untuk hari esok dan seterusnya.

Sebenarnya berdirinya BP Migas itu didasarkan atas adanya UU Nomor 22 Tahun 2001. Mau tahu apa yang melatarbelakangi UU ini terbentuk dan seperti apa kesimpulan isinya berikut aku temukan rangkumannya dalam versi orang awam sehingga semua orang dapat memahami. Aku ambil referensinya dari sini. Berikut detailnya :

Menengok sejarah lahirnya UU No 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi, saya cukup miris. Substansi UU ini merupakan bagian dari paket Letter of Intent (LoI), yang dipaksakan oleh IMF dan dibantu konconya, World Bank, untuk me-liberalisasi dan men-deregulasi sektor-sektor strategis di Indonesia. Minyak dan gas bumi adalah salah satunya. Kita tahu, bahwa LoI tersebut merupakan sejumlah ketentuan yang wajib dilakukan oleh Indonesia, sebagai syarat untuk menerima “bantuan” dalam penanganan krisis moneter satu dekade lalu.

Analoginya begini. Saya meminjamkan duit kepada Anda, dan saya minta agar Anda membersihkan dapur, memugar pagar dan halaman, serta merombak susunan rumah Anda. Bukan hanya itu, saya juga berhak untuk mengatur rumah tangga Anda. Kedaulatan Anda sebagai pemimpin rumah tangga, telah saya ambil. Tentu, isteri dan anak Anda berhak untuk saya apakan saja. Saya dapat berbuat begitu karena saya melihat bahwa Anda sedang benar-benar butuh uang, dan Anda betul-betul sekarat karenanya. Dengan begitu, saya punya kesempatan untuk “menggencet” Anda. Bejat bukan? Itulah IMF dengan paket LoI-nya.

Dilihat dari substansinya, dalam kerangka liberalisasi tadi, UU ini bertujuan untuk memecah (unblunded) sektor hulu dan hilir minyak dan gas bumi yang tadinya terintegrasi. Di sektor hulu, dari dulu pihak asing memang sudah lenggang kangkung di Indonesia, dan menguasai 80% cadangan minyak dan gas bumi Indonesia. Rupanya asing belum puas. Dengan meminjam tangan kotor IMF dan Bank Dunia, mereka juga ingin masuk dan menguasai sektor hilir di Indonesia. Mereka tahu betul betapa besar potensi pasar industri hilir minyak dan gas bumi di Indonesia. Meski sampai saat ini, upaya mereka masih tertatih, karena belum mampu menandingi Pertamina dalam hal penguasaan infrastruktur pengadaan bahan bakan minyak di dalam negeri.

Di sektor hulu, UU ini telah melucuti kewenangan Pertamina sebagai satu-satunya pemegang kuasa pertambangan minyak dan gas bumi. Pertamina dibuat sebagai pemain “biasa”, disamakan dengan kontraktor migas mana pun di Indonesia. Pertamina juga harus memecahkan dirinya ke dalam ranting-ranting usaha hulu dan hilir yang terpisah. Sebelum UU ini lahir, pengusahaan minyak dan gas bumi mengacu pada UU No. 8 tahun 1971 tentang Pertamina. Kontraktor yang ingin mengusahakan minyak dan gas bumi, harus melewati “pintu” Pertamina sebagai perusahaan “tuan rumah”. Mereka lalu membuat kontrak PSC dengan Pertamina.

Oleh sebagian kalangan, kondisi inilah yang menyebabkan Pertamina tidak sehat, tidak berkembang, jadi lumbung korupsi, dan sebagainya. Karena itu mereka setuju dengan liberalisasi. Padahal, regulasi tetaplah regulasi. Korupsi adalah masalah moral. Transformasi bisa tetap dilakukan, tanpa harus melucuti sejumlah kewenangan strategis sebuah badan usaha milik negara.

UU ini menyerahkan kewenangan Pertamina kepada BPMIGAS untuk sektor hulu, dan BPH MIGAS untuk sektor hilir. Khusus mengenai BPMIGAS, ini adalah badan hukum milik negara, bukan badan usaha. Tetapi Pemerintah memberinya kewenangan untuk melakukan perjanjian bisnis dengan kontraktor migas. Saya melihat hal ini mengandung beberapa resiko.

Pertama, BPMIGAS sebagai representasi Pemerintah yang akan menerima bagi hasil minyak dan gas bumi bagian Pemerintah/Negara, namun tidak bisa menjual atau mengelola sendiri. Konsekuensinya, Pemerintah harus menunjuk pihak ke tiga, untuk melakukannya. Kalau untuk mengolahnya di dalam negeri, tidak jadi soal, karena masih ada Pertamina. Tetapi bagaimana dengan penjualan minyak atau gas bumi ke luar negeri? Untuk hal ini, negara seringkali menunjuk pihak asing untuk menjualkan minyak atau gasnya. Kan lucu!

Kedua, karena sebagai pihak yang membuat kontrak langsung dengan kontraktor asing, maka posisi BPMIGAS secara hukum sejajar dengan kontraktor asing. Melalui skema ini, Pemerintah bisa diseret langsung ke arbitrase internasional, apabila dianggap merugikan kontraktor asing. Wuedan! Lain halnya jika kontrak tersebut dibuat antara kontraktor dengan Pertamina. Jika ada dispute, cukuplah Pertamina, bukan Pemerintah atau Negara, yang menyelesaikan dan berhadapan dengan hukum internasional. Melihat kondisi tersebut, negara jelas dalam posisi yang tidak aman dalam berhadapan dengan kontraktor asing.

Mau tau isi UU No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas, coba lihat di sini

MK menyatakan Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3), Pasal 41 ayat (2), Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48 ayat (1), Pasal 59 huruf a, Pasal 61, dan Pasal 63 UU Migas bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dalam UU Migas, syarat Kontrak Kerja Sama (KKS) minimal ada tiga yaitu kepemilikan sumber daya alam di tangan Pemerintah sampai pada titik penyerahan, kedua pengendalian manajemen operasi berada pada BP Migas dan ketiga modal dan resiko seluruhnya ditanggung Badan Usaha/Bentuk Usaha Tetap.

Leave a comment